Saturday, June 22, 2013

Hubungan Masyarakat Madani dan Negara


Hubungan Masyarakat Madani dan Negara    
Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87).
Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.

            Dari penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu;
…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism.

Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).
            Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:
(1)      the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference.

Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
            Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
            Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama (Effendi, 1999).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
4. Simpulan

            Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi sehingga pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main
            Konsep civil society lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Lahirnya konsep ini berbarengan dengan lahirnya konsep negara modern, yaitu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dengan kata lain mereka ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk mewujudkan negara demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.
Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan Nabi Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga sebagai kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, kini dalam jabatan sebagai presiden harus menciptakan pemerintahan yang demokratis supaya masyarakat madani juga berkembang pesat.

Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.

Abdurrahman, Moeslim. 1999.  Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.

Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the   Islamic Revolution in Iran. New York and London: New York University Press.

Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti.

Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hikam, Muhammad A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Dalam ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidie.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.

Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

McKeon, Richard. 1990. Freedom and History and Other Eassys. Chicago: The University of Chicago Press.

Mas’ud, Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat “Madani”. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pickering, W.S.F. 1975. Durkheim on Religion: A Selection of Readings with Bibliographies and Introductory Remarks. London: Routledge & Keagan Ltd.

Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.

Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press.

Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat.

Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. 11/9/99. Hal. 1.

Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.

Ditulis Oleh : Unknown // 1:09 AM
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment